Kamis, 14 Juli 2011

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KEJANG DEMAM

A. Pengertian

Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi, atau memori yang bersifat sementara ( Hudak and Gallo, 1996).

Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s, 1996)

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 380C) yang disebabkan oleh ekstrakranium (Ngastiyah, 1997).

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Dr. Rusepno Hasan, 2000).

Kejang demam adalah kejang yang timbul karena adanya peningkatan cepat suhu tubuh (Patricia Gilbert, 1999).

B. Etiologi

5

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi luar susunan saraf pusat misalnya tonsilitis, OMA, bronkitis. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsunng singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik- klonik.

C. Patofisiologi

  1. Proses Penyakit

Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut “neurotransmitter” dan terjadi kejang, tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 380C sedang anak dengan ambang kejang tinggi terjadi pada suhu 400C atau lebih. Dari kenyataan dapat disimpulkan pada anak dengan ambang kerja rendah sehingga penanggulangannya perlu memperhatikan pada tingkat suhu berapa pasien kejang.

Pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot seklet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat, disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot, selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab sehingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.

Kerusakan pada daerah medical lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsy yang spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy.


Patoflow

Infeksi ekstrakranium

Peningkatan suhu tubuh

Peningkatan metabolisme

di dalam tubuh

Perpindahan ion-ion (K+ ke luar sel

dan Na+ ke dalam sel)

Perubahan potensial membran neuron

Lepasnya muatan listrik

Kejang


Kurangnya pengetahuan Risti injuri berhubungan bersihan jalan nafas

mengenai kondisi anak dengan gerakan yang tidak efektif

berhubungan dengan kurang tidak terkontrol

terpaparnya informasi penumpukan sekret

  1. Manisfestasi Klinis

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi luar susunan saraf pusat misalnya tonsilitis, OMA, bronkitis. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsunng singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik- klonik.

Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam mungkin timbul pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakitkan anak menderita epilepsi. Untuk itu Livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu :

1. Kejang demam sederhana 9 simple fibrile convulsion)

2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever.

D. Penatalaksanaan Medis

  1. Tes Diagnostik

a. Pemeriksaan Darah

1) Kadar gula darah : menunjukkan adanya hipoglikemia

2) Elektrolit serum : menunjukkan adanya hiponatremia dan hipoglikemia

3) Gas darah arteri : menunjukkan adanya hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis.

b. Elektro Ensefalogram (EEG) diapakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.

c. CT Scan kepala : untuk penderita yang dicurigai adanya lesi intracranial.

d. Pemeriksaan leukosit : untuk menunjukkan adanya leukosit.

  1. Terapi

Farmakoterapi:

a. Fase akut: yang lazim digunakan adalah salisilat dan paracetamol dan konvulsan (anti kejang) diazepam intra rektal 5 mg (BB < 10 kg) atau 10 mg (BB > 10 kg).

b. Fase lanjut

1) Fenobarbital : untuk mengatasi kejang demam basis jangka panjang dosisnya 5-8 kg.

E. Konsep Tumbuh Kembang Anak Umur 1-3 tahun

Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh tubuh yang secara kuantitatif dapat di ukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley & Wong, 2000).

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur/ fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang terartur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ – organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2002). Dengan demikian, aspek perkembangan ini bersifat kualitatif, yaitu kematangan fungsi dari masing–masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan berfungsinya jantung untuk memompa darah, kemampuan untuk bernafas, sampai kemampuan anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, bicara, memungut benda–benda disekelilingnya, serta kematangan emosi dan sosial anak. Tahap perkembangan awal akan menentukan tahap perkembangan selanjutnya. Pada dasarnya, manusia dalam kehidupannya mengalami berbagai tahapan tumbuh kembang dan setiap tahap mempunyai ciri tertentu.

Pertumbuhan melambat selama masa todler. Rata-rata pertambahan berat badan adalah 1,8 sampai 2,7 kg per tahun. Berat rata-rata pada usia 2 tahun adalah 12 kg. Berat badan menjadi empat kali berat badan lahir pada usia 2½ tahun. Kecepatan pertambahan tinggi badan juga melambat. Penambahan tinggi yang biasa adalah bertambah 7,5 cm per tahun dan terutama terjadi dalam perpanjangan tungkai dan bukan batang tubuh. Tinggi badan rata-rata anak usia 2 tahun adalah 86,6 cm. Secara umum, tinggi badan orang dewasa sekitar dua kali tinggi badannya sewaktu berusia 2 tahun.

Kecepatan pertambahan lingkar kepala melambat pada akhir masa bayi, dan lingkar kepala biasanya sama dengan lingkar dada pada usia 1 – 2 tahun. Total pertambahan lingkar kepala umumnya selama tahun kedua adalah 2,5 cm. Kemudian kecepatan pertambahan melambat sampai usia 5 tahun, pertambahan tinggi badan menjadi kurang dari 1,25 cm per tahun. Fontanela anterior menutup antara usia 12 sampai 18 bulan.

Keterampilan motorik kasar mayor selama masa todler adalah perkembangan lokomosi. Pada usia 12 sampai 13 bulan todler sudah dapat berjalan sendiri dengan jarak kedua kaki melebar untuk keseimbangan ekstra dan pada 18 bulan mereka berusaha lari tetapi mudah terjatuh. Antara usia 2 dan 3 tahun, posisi tegak dengan dua kaki menunjukan peningkatan koordinasi dan keseimbangan. Pada usia 2 tahun todler dapat berjalan menaiki dan menuruni tangga, dan pada usia 2½ tahun mereka dapat melompat, menggunakan kedua kaki, berdiri pada satu kaki selama satu atau dua detik, dan melakukan beberapa langkah dengan berjinjit. Pada akhir tahun kedua mereka dapat berdiri dengan satu kaki, berjalan jinjit, dan menaiki tangga dengan berganti-ganti kaki.

Perkembangan motorik halus diperlihatkan dengan meningkatnya keterampilan deksteritas manual. Misalnya, pada usia 12 bulan todler mampu menggenggam sebuah benda yang sangat kecil tetapi tidak mampu melepaskan sesuai keinginannya. Pada 15 bulan mereka dapat menjatuhkan kelereng ke dalam botol berleher sempit. Menangkap atau melempar benda dan menangkapnya kembali menjadi aktivitas yang hampir obsesif pada usia sekitar 15 bulan. Pada usia 18 bulan todler dapat melempar bola dari tangan tanpa kehilangan keseimbangan.

Todler dihadapkan pada penguasaan beberapa tugas penting. Apabila kebutuhan untuk membentuk dasar kepercayaan telah terpuaskan, mereka siap meninggalkan ketergantungannya menjadi memiliki kontrol, mandiri, dan otonomi.

Tugas mayor periode todler adalah diferensiasi diri dari orang lain, terutama ibu. Proses diferensiasi terdiri atas dua fase: perpisahan, kemunculan anak dari kesatuan simbiosis dengan ibunya, dan individualisasi, pencapaian tersebut menandai asumsi anak mengenai karakteristik individual mereka di dalam lingkungan. Meskipun proses ini dimulai selama paruh waktu masa bayi, pencapaian terbesar terjadi selama masa todler.

Karakteristik perkembangan bahasa yang paling mengejutkan selama masa kanak-kanak awal adalah meningkatnya tingkat pemahaman. Meskipun jumlah kata yang dikuasai sekitar 4 pada usia 1 tahun menjadi 300 pada usia 2 tahun-perlu dicatat, kemampuan untuk memahami dan mengerti percakapan jauh lebih besar dibandingkan jumlah kata yang dapat diucapkan anak. Ini terjadi terutama pada keluarga yang menggunakan dua bahasa, yang perbendaharaan katanya bisa terlambat dikuasai tetapi kedua bahasa dapat dipahami dengan tepat (Chiocca, 1998 dikutip dari Wong, D. L, et.al, 2009).

F. Konsep Hospitaslisasi

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stres.

Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000 dikutip dari Supartini, 2004). Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan.

Apabila anak stres selama dalam perawatan, orang tua menjadi stres pula, dan stres orang tua akan membuat tingkat stres anak semakin meningkat (Supartini, 2004). Anak adalah bagian dari kehidupan orang tuanya sehingga apabila ada pengalaman yang mengganggu kehidupannya maka orang tua pu merasa sangat stres (Brewis, 1995 dikutip dari Supartini, 2004). Dengan demikian, asuhan keperawatan tidak bisa hanya berfokus pada anak, tetapi juga pada orang tuanya.

Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya, yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya.

Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada kemampuan sebelumnya atau regresi. Terhadap perlukaan yang dialami atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan tindakan invasif, seperti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan menangis, menggigit bibirnya, dan memukul. Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan lokasi rasa nyeri dan mengkomunikasikan rasa nyerinya.

G. Asuhan Keperawatan

  1. Pengkajian
  1. Faktor predispoisi
  2. Riwayat penyakit kejang demam keluarga, kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang.
  3. Faktor presipitasi
  4. Infeksi pada tenggorokan, telinga, salurn kemih, dan otak, suhu tubuh yang tinggi dan cepat.
  5. Aktivitas/istirahat
  6. Keletihan, kelelahan umum, keterbatasan dalam beraktifitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan orang lain.
  7. Sikulasi
  8. Peningkatan nadi, sianosis.
  9. Integritas Ego
  10. Stress eksternal berhubungan keadaan dan penanganan, penurunan rangsang, tidak berdaya.
  11. Eliminasi
  12. Inkontinensia, peningkatan kandung kemih dan tonus sfingter.
  13. Makanan/Cairan
  14. Sensitivitas terhadap makanan, mual, muntah berhubungan dengan aktivitas kejang.

  1. Neurosensori
  2. Aktivitas kejang berulang, pingsan, infeksi serebral dan kelemahan, nyeri.
  3. Perubahan tonus otot dan gelisah
  4. Pernafasan
  5. Gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus, apnea.
  6. Keamanan
  7. Penurunan kekuatan/tonus otot secara menyeluruh.

  1. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.

b. Resiko tinggi hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.

c. Resiko tinggi kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.

d. Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengangerakan tonik/klonik yang tidak terkontrol selama kejang.

e. Risiko tinggi pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan proses penyakit.

  1. Perencanaan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.

Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif

Kriteria hasil : Pernafasan normal 30-35 x/mnt, suara nafas normal (vesikuler), batuk dan pilek berkurang/hilang.

Intervensi :

1. Ukur dan catat TTV.

2. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama, dan bunyi nafas.

3. Berikan posisi semi fowler.

4. Berikan minum hangat.

5. Lakukan suction bila sekret tidak keluar.

6. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat batuk.

7. Kolaborasi dengan dokter pemberian O2 sesuai indikasi.

b. Resiko tinggi hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

Tujuan : Suhu tubuh dalam batas normal

Kriteria hasil : Suhu tubuh normal (36-370C), leukosit normal (5,00-10,00 mm3)

Intervensi :

1. Ukur dan catat TTV.

2. Berikan kompres hangat bila suhu tinggi.

3. Berikan minum 1150-1300 cc/hari.

4. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat antibiotic.

5. Kolaborasi dengan tim analisis pemeriksaan leukosit.

c. Resiko tinggi kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.

Tujuan : Kejang berulang tidak terjadi.

Kriteria hasil : Suhu tubuh normal (36-370C), tanda kejang tidak ada (misal: suhu tubuh yang meningkat, gerakan tubuh yang tidak terkendali, mata berputar ke atas, kesadaran menurun), hasil elektrolit normal Na: 136-146 mmo/L, K 3,5-5,0 mmo/L dan Cl: 9-10 mmo/L.

Intervensi :

1. Ukur dan catat TTV.

2. Ukur intake dan output cairan.

3. Berikan kompres hangat bila suhu tinggi.

4. Pantau klien terhadap adanya tanda-tanda kejang.

5. Berikan pendidikan kesehatan kepada orang tua mengenai penanganan kejang demam.

6. Pasang sudip lidah atau sendok yang telah dibungkus oleh kasa pada saat kejang.

7. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat anti konvulsan.

8. Kolaborasi dengan tim analisis pemeriksaan elektrolit (Na, K, Cl).

d. Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik yang tidak terkontrol selama kejang

Tujuan : Cidera tidak terjadi.

Kriteria hasil : Tanda-tanda kejang tidak terjadi (misal: suhu tubuh yang meningkat, gerakan tubuh yang tidak terkendali, mata berputar ke atas, kesadaran menurun).

Intervensi :

1. Dampingi anak selama kejang

2. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan anak, misalnya: pisau, gunting.

3. Letakkan anak pada tempat yang datar.

4. Anjurkan orang tua atau keluarga untuk segera meminta bantuan orang lain atau rumah sakit.

5. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat anti konvulsan.

e. Risiko tinggi pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan proses penyakit

Tujuan : Resiko tinggi pertumbuhan dan perkembangan tidak terjadi.

Kriteria hasil : Pertumbuhan dan perkembangan anak normal sesuai dengan usianya.

Intervensi :

1. Berikan perhatian/kasih saying orang tua kepada anak

2. Berikan makanan yang bergizi.

3. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat anti konvulsan.

4. Kolaborasi dengan dokter pemeriksaan CT-Scan kepala.

  1. Pelaksanaan Keperawatan

Tahap pelaksanaan merupakan langkah keempat dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat, 2004). Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, permohonan tentang hak-hak dari klien serta memahami tingkat perkembangan klien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat 2 jenis tindakan yaitu tindakan jenis mandiri dan kolaborasi sebagai profesi perawat mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam menemukan komponen pada tahap asuhan keperawatan. Komponen pada tahap implementasi adalah:

a. Tindakan keperawatan mandiri

Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa pesanan dokter. Tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktek American Nurses Association (1973) dan kebijakan institusi perawatan kesehatan.

b. Tindakan Keperawatan Kolaboratif

Tindakan keperawatan kolaboratif diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang benujuan untuk mengatasi masalah-masalah klien.

c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap tindakan keperawatan.

Dokumentasi merupakan pernyataan dari kejadian atau identitas yang otentik dengan mempertahankan catatan-catatan yang tertulis. Dokumentasi merupakan wahana untuk komunikasi dari suatu profesional ke profesional lainnya tentang kasus klien. Dokumen klien merupakan bukti tindakan keperawatan mandiri dan kolaboratif yang diimplementasikan oleh perawat dan perubahan-perubahan pada kondisi klien. Frekuensi dokumentasi tergantung pada kondisi klien dan tetapi yang diberikan, idealnya dokumentasi dilakukan setiap shift.

Rekam medis klien adalah dokumentasi yang legal, rekam medis tersebut diterima di pengadilan. Pada tuntutan malpraktik, catatan perawat memberikan bukti tindakan perawat. Perawat harus melindungi catatan tersebut dari pembaca yang tidak berhak seperti pengunjung. Tanda tangan perawat diakhir catatan perawat merupakan akuntabilitas terhadap isi catatan. Mengubah dokumentasi legal tersebut merupakan suatu kejahatan.adalah tidak bisa diterima untuk menghapus tulisan pada catatan menggunakan tipe-ex, penghapus tinta atau bahan lainnya.

  1. Evaluasi Keperawatan

Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Carol, 1998). Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap ini adalah memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan mengembalikan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:

a. Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.

b. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. Di samping itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.

1) Tujuan tercapai

Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan dan kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

2) Tujuan tercapai sebagian

Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai secara keseluruhan sehingga masih perlu dicari berbagai masalah atau penyebabnya, seperti klien dapat makan sendiri tetapi masih merasa mual. Setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.

3) Tujuan tidak tercapai

Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.

Evaluasi sumatif masing-masing diagnosa keperawatan secara teori adalah:

a. Bersihan jalan nafas efektif.

b. Suhu tubuh dalam batas normal.

c. Kejang berulang tidak terjadi.

d. Cidera tidak terjadi.

e. Pertumbuhan dan perkembangan anak normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar